12 November 2008

KEREBRITIS; KEKAYAAN DARI KAUM KERE

Tak ada yang senang hidup miskin. Apalagi bercita-cita hidup miskin. Karena kemiskinan identik dengan kesengsaraan, kemelaratan, kehinaan, ketidak berdayaan,... dan sederet embel-embel lainnya yang pasti sungguh tidak menyenangkan.

 

Jikalau ada orang hidup senang miskin, pastilah orang tersebut termasuk dalam tingkatan seorang wali Allah. Dan hanyalah baginda nabi Muhammad saw yang sungguh-sungguh berdoa dan bercita-cita hidup miskin. Sungguhpun demikian, baginda nabi saw selalu mewanti-wanti ummatnya untuk tidak hidup dalam kemiskinan, karena kemiskinan dekat dengan kekafiran.

 

Namun tokoh-tokoh –yang sebagian besar diwakili oleh ‘Karto’—dalam kumpulan cerpen Kerebritis karya Juslifar M. Junus ini bukanlah waliyullah. Bukan pula pengamal doa nabi Muhammas saw. Karto dan teman-temannya hidup miskin lantaran dipojokkan oleh nasib yang menghimpit mereka. Kemiskinan adalah kenyataan yang mesti mereka terima sebagai bagian kehidupan sehari-hari.

 

Kemiskinan. Inilah yang menjadi tema dasar dari kumpulan cerpen Kerebritis karya Juslifar M. Junus ini. Menjadikan kemiskinan sebagai tema bukanlah sesuatu yang hebat. Karena di negeri ini, kemiskinan dan orang-orang miskin pun sudah jadi bagian kehidupan di negara kita.  Tidak ada bagian dinegeri ini yang tidak terdapat orang miskin. Tidak perlu diperdebatkan berapa banyak orang miskin. Yang pasti jumlahnya melebihi orang-orang kaya yang berkuasa di negeri kita tercinta.

Tapi menjadikan kemiskinan sebagi tema sebuah karya membutuhkan energi empati yang besar. Itulah yang tergambar dalam diri sang penulis Kerebritis dalam kupulan cerpennya ini.

 

Kemiskinan, memang kerapkali menjadi komoditi yang menguntungkan untuk mencapai keinginan seseorang atau sekelompok orang.

Kaum kaya sering menjadikan orang miskin sebagai bahan komoditas eksploitasi untuk mendapatkan buruh dengan upah rendah.

“ Adalah sudah menjadi kodratnya menjadi orang kaya yang gemar mempermainkan orang miskin. Tapi baginya hal itu bukanlah hal yang terlampau jahat, sama saja dengan orang pintar yang doyan mempermainkan orang tolol. Orang kuat yang suka memainkan orang lemah. Orang sehat yang senang mempermainkan orang sakit.” (Sepotaker).

 

 Sering memang, kemiskinan dijadikan komoditas bagi seorang politikus untuk mencapai kekuasaan. Kemiskinan tidak jarang dijadikan bahan partai politik untuk menyerang oposisinya. Pun tak jarang kemiskinan diolah sedemikian rupa oleh penguasa sebagai alat melanggengkan kekuasaan. Bahkan kemiskinan dijadikan senjata oleh kaum miskin itu sendiri untuk menyuarakan kehendaknya, dengan cara mereka sendiri.

“Tapi ini adalah soal tempe pak!!, saya dan keluarga saya ndak mungkin makan nasi sama garam..saya juga ndak serakah dan aneh-aneh pingin lauk daging atau ikan, saya cuma mau makan nasi sama Tempeee…”  (Tapi Ini Soal Tempe).

 

Melalui empatinya terhadap kemiskinan, Juslifar M.Junus merasa dekat dengan subyek, bahkan sangat dekat. Namun mampu menjaga jarak untuk tidak ikut-ikutan menjadikan temanya sebagai obyek penderita. Sehingga karya-karyanya mampu ditampilkan apa adanya. Secara utuh. Fokus.

 

Juslifar M. Junus hanya memotret kemudian mencetaknya dalam bentuk cerpen. Ia ibarat pelukis dalam kanvas kalimat-kalimat. Cerpen-cerpennya adalah panggung teater yang menampilkan monolog-monolog tentang kemiskinan.

 

Namun demikian, monolog-monolog yang ditampilkan tidak monoton. Juslifar M. Junus dengan cerdik memotret tema yang ditampilkannya dari berbagai sudut.

 

Kerebritis jadi simbol perlawanan. Perjuangan kaum miskin untuk melepaskan diri dari jeratan nasibnya yang sumpah mati tidak mereka inginkan.

…..supaya status fakir miskin ndak berangsur-angsur jadi kafir miskin, hehehe..” (Sorganya Mbahmu)

 

 Orang kaya tidak pernah ingin miskin. Orang miskin tidak ingin miskin selamanya. Orang kaya sering ngomong bahwa soal miskin atau kaya hal yang biasa saja. Sama saja. Itu karena mereka sedang kaya. Dan terus berupaya dengan cara apa saja untuk tetap bisa kaya.

“ Jaman Penjajahan baik jepang atau Belanda, yang bisa jadi Wedono, Lurah atau Pejabat pasti dicurigai sebagai pengkhianat. Karena mereka selalu nunduk-nunduk dan milih kerjasama dengan para penjajah. Jadi mereka bisa terus bertahan sebagai warga kelas Sugeeh alias kaya makmur sehingga menjaga anak turunnya jangan sampek kere kayak kamu..” (Kere Sejak Dulu Kala (h)…)

 

 

Bagi kaum kere tentu miskin kaya tidak sama. Makannya sama, sama-sama lewat mulut. Tapi soal apa yang dimasukkan dan berapa banyak masuknya tentu tidak sama. Kere atau kaya sama-sama berpakaian. Soal jenis dan harga bahannya pasti tidak sama. Kalau ngantuk, orang kaya atau miskin ya tidur. Tapi soal dimana tidurnya tentu beda.

“Mungkin karena memang ada kemiripan antara keduanya….., tapi harganya beda jauh. Bagaikan langit dan comberan di bumi.” (Kerebritis, What The Hell is That?)

 

“tapi para kaum kere selalu saja menemukan akal bulus buat menyamarkan. Makan kutu dibilang Petan (cari kutu). Ngemplok tumo beras disamarkan dengan pake buah pisang katanya untuk obat penyakit kuning alias hepatitis. Makan cindil dikatakan supaya kuat mbecak, makan kadal katanya buat obat, makan tekek dibilang buat penolak gatal-gatal.” (Petan)

Juslifar M. Junus tidak sedang mengajak kita untuk tertawa menyaksikan tingkah pola kaum kere dalam karya-karyanya. Ketidak berdayaanlah yang memuat mereka seperti itu. Hanya kaum kere yang berhak menertawakan diri mereka sendiri. Egois ? Memang. Karena mungkin itulah cara mereka menghibur diri sendiri. Sebab menangis bagi kaum kere tidak ada gunanya sama sekali. Bersedih, apalagi menangis tidak akan mengangkat harkat mereka ke jenjang hidup kaya.

“Mboknya Karto memutuskan untuk tak menangis. Adalah nista menjatuhkan airmata untuk memuaskan kerumunan orang yang tak henti menontonnya. Adalah haram memperlihatkan kelemahan hati buat orang-orang yang tak punya nurani. Adalah tabu menunjukkan remuk redam dan pahit nasib kepada orang-orang yang nonton kematian sambil makan kwaci.” (Karto Kere dan Mboknya Yang Nyaris Bongko)

 

Membaca Kerebritis, bukan berarti tanpa kelemahan. Tapi apalah arti kelemahan jika kita menerima begitu banyak kelebihan. Sama seperti apalah arti kemiskinan jika kita menerima banyak kekayaan justru dari orang-orang yang kita pandang miskin.

 

Walhasil, kumpulan cerpen dengan tema biasa-biasa saja (namun dengan sentuhan luar biasa) ini merupakan sebuah oase ditengah padang individualisme, konsumerisme, hedonisme, dan isme-isme lainnya yang acapkali menyesatkan di dunia modern. Karena pada dasarnya Tuhan mewajibkan kita menjaga harmonisasi kehidupan sosial.

 

Maka membaca buku ini seharusnya menjadi menu wajib santapan jiwa, makanan rohani kita selain teks-teks agama. Dan yang pasti, saya terus merindukan Juslifar M. Junus terus melahirkan menu-menu wajib bagi santapan rohani kita.

 

Dan apabila ada diantara kita yang sedang dihimpit kemiskinan, barangkali patut dibaca resep dari penulis :

“Kata Mbah Ndrongos, banyak makan Brutu bikin kita cepat pikun lho Lek.."

"Hahaha...malah enak toh,..kita jadi cepat lupa kalo kita ini hidupnya sengsara .."

(Brutu Philosophia)

***

Sumenep, 2008

*EN. Hidayat


1 comments:

Unknown mengatakan...

Ketika kekerean menjadi objek eksploitasi kaum elit. Maka yang terjadi hanyalah sebuah ironi kehidupan bagi kita. Fragmen-fragmen yang anda suguhkan dalam buku itu semoga menjadi pelajaran bagi kita semua, bahwa yang kere tidaklah tetap atau malah justru tambah kere. Begitu juga sebaliknya bagi si kaya. Kapan kerebritis bisa jadi selebritis..? Miimmpii kalii yee...?

 

blogger templates | Make Money Online