04 Maret 2009

Judul Buku: KEReBRITIS

Penulis: Juslifar M Junus

Tebal Buku: 187 Halaman

Penerbit: BakBuk Publisher, Agustus 2008

Kerebritis, What a hell is that?! Ini adalah judul pertama sekaligus deskripsi singkat sejumlah makhluk dari 12 cerita tentang manusia. Ya, dengan tagline "Semua orang awalnya kere...", Juslifar M Junus menceritakan kehidupan sosial masyarakat kita yang dilematis.

Seperti selebritis yang punya nama besar, kaum kere (baca: miskin) juga figur terkenal di negeri ini. Bedanya, hanya dalam segi kepemilikan. Selebritis bisa dibilang hidup berkecukupan. Njomplang, kerebritis hanya akrab dengan kekurangan dan penderitaan.

Saking akrabnya, manusia kere itu seperti kebal dengan penderitaan. Bagi mereka, kemiskinan bukan lagi bencana, tetapi sebuah kebiasaan. Si kere terbiasa dengan baju tambalan, celana bolong, dan rambut merah.

Mereka bukan korban mode, cuma tidak punya cukup uang buat beli baju atau creambath dengan rutin. " ... , mending buat beli beras." (Junus, 2008:15)

Agaknya, inilah keyakinan penulis pada kehidupan Karto, 36 tahun; manusia kere yang dilengkapi dengan segala atribut kekereannya alias miskin semiskin-miskinnya.

Karto, perwakilan bagi kaum pinggiran yang marginal dan tidak butuh rasa kasihan, tidak pula mau dikasihani. Karto tidak menuntut banyak. Dia hanya ingin keberadaannya dimanusiakan, sama seperti manusia lainnya.

Namun Juslifar menolak mengharu-birukan kisah dalam bentuk kesedihan. Dia menulisnya dengan aroma tertawa. Kere memang bukan lelucon, melainkan fakta di sekitar kita. Juslifar seakan mengingatkan, makhluk kere tetap punya cerita yang bisa membuat penderitaan menjadi kekuatan hidup mereka.

Karto sudah merasakan kerasnya perjalanan hidup sejak ibunya ditinggal pergi tukang becak berstatus suami, yang seharusnya menjadi bapaknya. Dengan alasan ini pula, Karto tidak mau mengkhianati kesetiaan ibunya. Dia pun memutuskan tidak menikah.

Meski kere dan tidak pernah punya cukup uang, Karto cukup tahu diri dan masih punya harga diri. Sedikit kenal Tuhan, Karto memilih ngutang daripada mencuri untuk makan. Baginya, ngutang adalah satu-satunya cara untuk mengganjal perut.

"... Mereka yang sudah akrab dengan nasib buruk seakan tak bisa lagi tersinggung atau sedih. Kalau ternyata kemelaratan menyeret mereka kepada sang lapar, ya apa boleh buat. Mereka selalu menyiapkan mental cadangan buat ketawa agar jiwa mati rasa terhadap penderitaan." (Junus, 2008: 61)

Persoalan perut menjadi inti serentetan cerita lucu ini: bahwa lapar bisa mematikan otak manusia hingga melupakan hakekat benar-salah dan baik-buruk. Tapi Karto tidak. Setidaknya, belum.

Mengapa? Saat manusia berlomba menyatakan hasrat untuk mati syahid, Karto, malah mati mengenaskan: ketabrak mobil ketika hendak menyelamatkan nyawa ibunya yang keracunan pentol bakso.

Karto hanya salah satu cerita. Beberapa kisah dalam buku, mungkin kisah biasa, klise bahkan bisa jadi satu diantara kita pernah mengalaminya. Tapi penulis berkisah dengan cerdas dan luar biasa menggelitik.

Percakapan yang ditulis Juslifar sarat akan bahasa sehari-hari masyarakat Jawa Timur-an. Pembaca bisa tergelak sekaligus terharu. Ada manusia hidup fakir yang berjuang untuk tidak jadi kafir (baca: melupakan Tuhan) cuma karena tak bisa makan.

Kerebritis terbilang menghibur. Tapi, bagi yang tidak mengerti bahasa Suroboyoan, mungkin buku ini akan terasa hambar dan tidak lucu. Meski begitu, penulis tetap menyediakan glossarium yang cukup untuk dimengerti.

(Sumber asli http://news.id.msn.com/local/okezone/article.aspx?cp-documentid=2678507)

24 Februari 2009

PONARI : Kerebritis Baru?


Percaya atau tidak, kalau dihitung-hitung pendapatan Ponari, si bocah dukun ajaib perharinya bisa mencapai Rp. 50 juta. Ini dihitung dengan terjualnya karcis seharga %p. 5000,- perbuah yang seharinya bisa terjual 10.000 buah. Ini saja belum termasuk sumbangan sukarela dari orang-orang yang sering memberi lebih di kotak sumbangan.


Dalam sehari Ponari dengan batu ajaibnya bisa melayani sekitar 5000 orang lebih sejak dirinya diperbolehkan membuka praktek kembali. 5000 orang sengaja dibatasi supaya si Ponari tidak kecapean.

Ponari berhenti sekolah?

Akibat mendadak terkenal, Ponari yang masih bocah yang bersekolah di kelas 1 SD harus meninggalkan sekolahnya sementara waktu. Dia sudah tidak masuk sekolah sejak 3 minggu lalu sejak membuka praktek menjadi dukun berobat.

Ayahnya yang tadinya tetap ingin supaya Ponari sekolah, tidak bisa berbuat banyak. Istrinya melarang praktek Ponari ditutup supaya si bocah ajaib ini bisa bersekolah. Akibatnya orang tua Ponari bersitegang, dan akhirnya kerabat dari pihak keluarga ibu Ponari sempat terlibat baku hantam dengan ayah Ponari.

Ayah Ponari sempat diberi bogem mentah hingga pingsan oleh kerabat isitrinya dan harus dirawat di rumah sakit. Sungguh tragis memang, tadinya ayah dan ibu Ponari walau hidupnya susah tapi keduanya rukun, tapi ketika 'mendadak kaya', keduanya saling baku hantam.

Rumah Ponari Diawasi Polisi


Sejak jadi terkenal dan diserbu warga, polisi ikut mengawasi rumah Ponari setiap hari. Selain itu polisi juga ikut menjaga antrian warga supaya jangan sampai terjadi kasus orang terinjak-injak akibat antrian yang panjang dan sering berdesak-desakan.

(Sumber : http://www.igaul.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2079&Itemid=29)


Status kesehatan individu sangat menentukan seseorang dikategorikan miskin. Seseorang yang sakit walaupun memiliki pekerjaan bisa masuk kategori miskin.

Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, Amelia Meika S.Sos, MA menyatakan status kesehatan, tingkat pendidikan tersebut merupakan faribel yang penting untuk menentukan kemiskinan secara subjektif.

Bicara dalam Seminar 'Mengukur Kemiskinan Subjektif di Indonesia', di Gedung Masri Singarimbun UGM, Jumat (20/2), dia menyatakan kemiskinan tidak hanya diukur dengan mengukur variabel objektif.

Menurut dia variabel kemiskinan subjektif perlu mendapat perhatian dalam menentukan status sosial. Selama ini ukuran miskin selalu dilihat dari kondisi nyata fisik tanpa ditelaah latar belakang seseorang miskin atau tidak miskin.

Pengajar sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Politik UGM, menyatakan mengukur angka kemiskinan dengan mengutamakan standar hidupnya sama pentingnya mengukur kemiskinan dengan kondisi obyektif seseorang.

Menurutnya kondisi moneter bukan alasan tunggal seseorang atau rumah tangga miskin. Seseorang hidup dalam rumah tangga memiliki pendapatan atau pengeluaran per kapita di bawah garis kemiskinan bisa saja tidak membuat seseorang merasa miskin atau tidak miskin.

Tingkat pendidikan dan status kesehatan justru berpengaruh sangat menentukan kemiskinan seseorang.

Seseorang dengan pendidikan tinggi, dengan status mahasiswa atau pelajar akan menganggap tidak miskin walaupun tidak memiliki pekerjaan. Sebab tidak memiliki tanggungan ekonomi terhadap keluarga.

Sebaliknya seorang dengan status kesehatan tidak bagus atau menderita sakit walaupun memiliki pekerjaan bisa merasa miskin. Ketidakmampuan melakukan kegiatan sehari-hari, menyebabkan orang merasa miskin atau potensi miskin sebab tidak dapat bekerja.

"Saat mereka berada pada level kesehatan tertentu dan bisa melakukan berbagai kegiatan, maka akan mengganggap dirinya bukan termasuk orang miskin," kata dia.

Dengan melihat kondisi subjektif individu, maka mengukur kemiskinan bisa lebih cermat dan lengkap."Kemiskinan subjektif merupakan indikator penting untuk mengukur kesejahteraan," ujar Amalia.

(Sumber : http://www.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=news.detail&id=60353)


Cak To (Nama Samaran) - Bos Pengemis Surabaya

Cak To, begitu dia biasa dipanggil. Besar di keluarga pengemis, berkarir sebagai pengemis, dan sekarang jadi bos puluhan pengemis di Surabaya. Dari jalur minta-minta itu, dia sekarang punya dua sepeda motor, sebuah mobil gagah, dan empat rumah. Berikut kisah hidupnya.

---

Cak To tak mau nama aslinya dipublikasikan. Dia juga tak mau wajahnya terlihat ketika difoto untuk harian ini. Tapi, Cak To mau bercerita cukup banyak tentang hidup dan ''karir''-nya. Dari anak pasangan pengemis yang ikut mengemis, hingga sekarang menjadi bos bagi sekitar 54 pengemis di Surabaya.

Setelah puluhan tahun mengemis, Cak To sekarang memang bisa lebih menikmati hidup. Sejak 2000, dia tak perlu lagi meminta-minta di jalanan atau perumahan. Cukup mengelola 54 anak buahnya, uang mengalir teratur ke kantong.

Sekarang, setiap hari, dia mengaku mendapatkan pemasukan bersih Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. Berarti, dalam sebulan, dia punya pendapatan Rp 6 juta hingga Rp 9 juta.

Cak To sekarang juga sudah punya rumah di kawasan Surabaya Barat, yang didirikan di atas tanah seluas 400 meter persegi. Di kampung halamannya di Madura, Cak To sudah membangun dua rumah lagi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk emak dan bapaknya yang sudah renta. Selain itu, ada satu lagi rumah yang dia bangun di Kota Semarang.

Untuk ke mana-mana, Cak To memiliki dua sepeda motor Honda Supra Fit dan sebuah mobil Honda CR-V kinclong keluaran 2004.

***

Tidak mudah menemui seorang bos pengemis. Ketika menemui wartawan harian ini di tempat yang sudah dijanjikan, Cak To datang menggunakan mobil Honda CR-V-nya yang berwarna biru metalik.

Meski punya mobil yang kinclong, penampilan Cak To memang tidak terlihat seperti ''orang mampu''. Badannya kurus, kulitnya hitam, dengan rambut berombak dan terkesan awut-awutan. Dari gaya bicara, orang juga akan menebak bahwa pria kelahiran 1960 itu tak mengenyam pendidikan cukup. Cak To memang tak pernah menamatkan sekolah dasar.

Dengan bahasa Madura yang sesekali dicampur bahasa Indonesia, pria beranak dua itu mengaku sadar bahwa profesinya akan selalu dicibir orang. Namun, pria asal Bangkalan tersebut tidak peduli. ''Yang penting halal,'' ujarnya mantap.

Cak To bercerita, hampir seluruh hidupnya dia jalani sebagai pengemis. Sulung di antara empat bersaudara itu menjalani dunia tersebut sejak sebelum usia sepuluh tahun. Menurtu dia, tidak lama setelah peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI.

Maklum, emak dan bapaknya dulu pengemis di Bangkalan. ''Dulu awalnya saya diajak Emak untuk meminta-minta di perempatan,'' ungkapnya.

Karena mengemis di Bangkalan kurang ''menjanjikan'', awal 1970-an, Cak To diajak orang tua pindah ke Surabaya. Adik-adiknya tidak ikut, dititipkan di rumah nenek di sebuah desa di sekitar Bangkalan. Tempat tinggal mereka yang pertama adalah di emprean sebuah toko di kawasan Jembatan Merah.

Bertahun-tahun lamanya mereka menjadi pengemis di Surabaya. Ketika remaja, ''bakat'' Cak To untuk menjadi bos pengemis mulai terlihat.

Waktu itu, uang yang mereka dapatkan dari meminta-minta sering dirampas preman. Bapak Cak To mulai sakit-sakitan, tak kuasa membela keluarga. Sebagai anak tertua, Cak To-lah yang melawan. ''Saya sering berkelahi untuk mempertahankan uang,'' ungkapnya bangga.

Meski berperawakan kurus dan hanya bertinggi badan 155 cm, Cak To berani melawan siapa pun. Dia bahkan tak segan menyerang musuhnya menggunakan pisau jika uangnya dirampas. Karena keberaniannya itulah, pria berambut ikal tersebut lantas disegani di kalangan pengemis. ''Wis tak nampek. Mon la nyalla sebet (Kalau dia bikin gara-gara, langsung saya sabet, Red),'' tegasnya.

Selain harus menghadapi preman, pengalaman tidak menyenangkan terjadi ketika dia atau keluarga lain terkena razia petugas Satpol PP. ''Kami berpencar kalau mengemis,'' jelasnya.

Kalau ada keluarga yang terkena razia, mau tidak mau mereka harus mengeluarkan uang hingga ratusan ribu untuk membebaskan.

***

Cak To tergolong pengemis yang mau belajar. Bertahun-tahun mengemis, berbagai ''ilmu'' dia dapatkan untuk terus meningkatkan penghasilan. Mulai cara berdandan, cara berbicara, cara menghadapi aparat, dan sebagainya.

Makin lama, Cak To menjadi makin senior, hingga menjadi mentor bagi pengemis yang lain. Penghasilannya pun terus meningkat. Pada pertengahan 1990, penghasilan Cak To sudah mencapai Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu per hari. ''Pokoknya sudah enak,'' katanya.

Dengan penghasilan yang terus meningkat, Cak To mampu membeli sebuah rumah sederhana di kampungnya. Saat pulang kampung, dia sering membelikan oleh-oleh cukup mewah. ''Saya pernah beli oleh-oleh sebuah tape recorder dan TV 14 inci,'' kenangnya.

Saat itulah, Cak To mulai meniti langkah menjadi seorang bos pengemis. Dia mulai mengumpulkan anak buah.

Cerita tentang ''keberhasilan'' Cak To menyebar cepat di kampungnya. Empat teman seumuran mengikutinya ke Surabaya. ''Kasihan, panen mereka gagal. Ya sudah, saya ajak saja,'' ujarnya enteng.

Sebelum ke Surabaya, Cak To mengajari mereka cara menjadi pengemis yang baik. Pelajaran itu terus dia lanjutkan ketika mereka tinggal di rumah kontrakan di kawasan Surabaya Barat. ''Kali pertama, teman-teman mengaku malu. Tapi, saya meyakinkan bahwa dengan pekerjaan ini, mereka bisa membantu saudara di kampung,'' tegasnya.

Karena sudah mengemis sebagai kelompok, mereka pun bagi-bagi wilayah kerja. Ada yang ke perumahan di kawasan Surabaya Selatan, ada yang ke Surabaya Timur.

Agar tidak mencolok, ketika berangkat, mereka berpakaian rapi. Ketika sampai di ''pos khusus'', Cak To dan empat rekannya itu lantas mengganti penampilan. Tampil compang-camping untuk menarik iba dan uang recehan.

Hanya setahun mengemis, kehidupan empat rekan tersebut menunjukkan perbaikan. Mereka tak lagi menumpang di rumah Cak To. Sudah punya kontrakan sendiri-sendiri.

Pada 1996 itu pula, pada usia ke-36, Cak To mengakhiri masa lajang. Dia menyunting seorang gadis di kampungnya. Sejak menikah, kehidupan Cak To terus menunjukkan peningkatan...

***

Setiap tahun, jumlah anak buah Cak To terus bertambah. Semakin banyak anak buah, semakin banyak pula setoran yang mereka berikan kepada Cak To. Makanya, sejak 2000, dia sudah tidak mengemis setiap hari.

Sebenarnya, Cak To tak mau mengungkapkan jumlah setoran yang dia dapatkan setiap hari. Setelah didesak, dia akhirnya mau buka mulut. Yaitu, Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu per hari, yang berarti Rp 6 juta hingga Rp 9 juta per bulan.

Menurut Cak To, dia tidak memasang target untuk anak buahnya. Dia hanya minta setoran sukarela. Ada yang setor setiap hari, seminggu sekali, atau sebulan sekali. ''Ya alhamdulillah, anak buah saya masih loyal kepada saya,'' ucapnya.

Dari penghasilannya itu, Cak To bahkan mampu memberikan sebagian nafkah kepada masjid dan musala di mana dia singgah. Dia juga tercatat sebagai donatur tetap di sebuah masjid di Gresik. ''Amal itu kan ibadah. Mumpung kita masih hidup, banyaklah beramal,'' katanya.

Sekarang, dengan hidup yang sudah tergolong enak itu, Cak To mengaku tinggal mengejar satu hal saja. ''Saya ingin naik haji,'' ungkapnya. Bila segalanya lancar, Cak To akan mewujudkan itu pada 2010 nanti... (ded/aza)

(Sumber : http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=5373)

29 Desember 2008

Trans TV Dituntut Buka Identitas Pedagang Bakso Tikus

Rabu, 18/01/2006 19:58 WIB

Bandung - Pedagang bakso Bandung masih meradang dengan liputan Trans TV soal bakso tikus. Mereka meminta agar pihak Trans TV membuka narasumber pedagang bakso daging tikus. Para pedagang ini juga mengancam pihak Trans TV jika tidak bisa membuktikan kebenaran adanya pedagang bakso daging tikus tersebut.

"Sepanjang kami berdagang bakso, ini paling menyakitkan bagi kami. Pascaliputan itu kami merasa dihakimi oleh masyarakat luas," ungkap Ketua Paguyuban Pedagang Bakso (PBB) Bandung, Suparno Suud geram.

Hal ini disampaikan Suud saat berdialog dengan Direktur Utama Trans TV, Ishadi SK yang berlangsung di ruang rapat Komisi Penyiaran Indonesia Jabar, Jalan Trunojoyo, Rabu (18/1/2006) di Bandung.

Ia menilai liputan Trans TV yang menggunakan ilustrasi pembuatan bakso tikus terlalu menyudutkan para pedagang bakso umumnya. Ilustrasi pedagang bakso daging tikus terlalu berlebihan dan mengada-ada.

Dalam waktu dekat ini, para pedagang bakso ini akan melaporkan kasus adanya pedagang bakso tikus ini ke pihak kepolisian. Mereka meminta agar pihak kepolisian segera mengusut tuntas perihal adanya pedagang bakso tikus tersebut.

Termasuk mendesak agar pihak kepolisian juga melakukan penyidikan pedagang bakso tikus yang digunakan narasumber oleh pihak Trans TV.

Rencananya, pada akhir pekan ini para pedagang bakso ini akan menggelar makan bakso gratis di lapangan Gasibu, Jalan Diponegoro Bandung.

Mereka akan menyiapkan sekitar 50 ribu mangkuk bakso yang diangkut sekitar 500 roda baso keliling. Biaya pembuatan bakso massal ini sendiri diperkirakan memakan biaya sekitar Rp 250 juta.

Dialog ini sendiri berlangsung cukup ramai dan berjalan hingga 2 jam. Dalam dialog tersebut Dirut Trans TV, Ishadi Sk menjelaskan bahwa pihaknya siap membantu mengembalikan citra para pedagang baso saat ini.

Kepada para pedagang bakso, ia menuturkan bahwa pihaknya memiliki tugas untuk mengawasi dan melakukan pemberitaan perihal yang penting untuk publik. Salah satunya adalah adanya penemuan kasus pedagang bakso yang menjual dengan menggunakan daging tikus tersebut.

"Kami sadar komunitas pedagang bakso ini sangat kuat. Makanya protes. Tapi kalau minta ganti rugi pada kita, tidak benar dong," ungkapnya singkat.
Ahmad Yunus - detikNews

dikutip dari sini

 

blogger templates | Make Money Online